Jumat, 01 Mei 2009

Sejarah Kerajaan Gowa...

Menurut mitologi, sebelum kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang disebut Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang (gabungan/federasi). Sembilan pemerintahan otonom tersebut adalah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan otonom ini hidup berdampingan dengan damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan karena adanya kecenderugnan untuk menunjukkan keperkasaan dan semangat ekspansi. Untuk mengatasi perselisihan ini, kesembilan pemerintahan otonom ini kemudian sepakat memilih seorang pemimpin di antara mereka yang diberi gelar Paccallaya. Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan kesepakan ini, karena masing-masing wilayah berambisi menjadi ketua Bate Selapang. Di samping itu, Paccallaya ternyata juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Hingga suatu ketika, tersiar kabar bahwa di suatu tempat yang bernama Taka Bassia di Bukit Tamalate, hadir seorang putri yang memancarkan cahaya dan memakai dokoh yang indah.


Mendengar ada seorang putri di Taka Basia, Paccallaya dan Bate Salapang mendatangi tempat itu, duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya tersebut menjelma menjadi wanita cantik, yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Oleh karena itu, mereka menyebutnya Tomanurung. Lalu, Paccallaya bersama Kasuwiyang Salapang berkata pada Tomanurung tersebut, kami semua datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja kami, sudilah engkau menetap di negeri kami dan sombaku lah yang merajai kami. Setelah permohonan mereka dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, Sombai Karaeng Nu To Gowa (sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa).

Tidak lama kemudian, datanglah dua orang pemuda yang bernama Karaeng Bayo dan Lakipadada, masing-masing membawa sebilah kelewang. Paccallaya dan kasuwiyang kemudian mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat dinikahkan agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudain semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang dan kewajiban orang yang memerintah dan diperintah. Ketentuan tersebut berlaku hingga Tomanurung dan Karaeng Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka Tumassalangga Baraya lahir. Anak tunggal inlah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa.

Kerajaan Gowa mencapai puncak keemasannya pada abad XVI yang lebih populer dengan sebutan kerajaan kembar Gowa-Tallo atau disebut pula zusterstaten (kerajaan bersaudara). Kerajaan Dwi-Tunggal ini terbentuk pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumaparissi Klonna (1510-1545), dan ini sangat sulit dipisahkan karena kedua kerajaan telah menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam pribahasa Rua Karaeng Na Sere Ata (Dua Raja tetapai satu rakyat). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Makassar.

Masa kejayaan Kerajaan Gowa tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Karaeng Patingalloang, Mangkubumi Kerajaan yang berkuasa 1639-1654. Nama lengkapnya adalah I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matowaya. Sewaktu Raja Tallo I Mappaijo Daeng Manyuru diangkat menjadi raja Tallo, usianya baru satu tahun. Karaeng Pattingalloang diangkat untuk menjalankan kekuasaannya sampai I Mappoijo cukup usia. Oleh karena itu dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Karaeng Pattingalloang adalah Raja Tallo IX.

Karaeng Pattingalloang diangkat menjadi sebagai Mengkubumi Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid, yang memerintah pada tahun 1639-1653. Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi Tumabbicara Butta Kerajaan pada hari Sabtu, tanggal 18 Juni 1639. Jabatan itu didapatkannya setelah ia menggantikan ayahnya Karaeng Matowaya. Pada saat ini menjabat Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah kerajaan terkenal dan banyak mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.

Karaeng Pattingalloang adalah putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakil-wakilnya di Batavia di tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus dibuat di negeri Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk menyerang Ambon.

Karaeng Pattingolloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.

Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.

Karaeng Pattingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika itu. Karena itu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bersama Joost van den Vondel, sangat memuji kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:

Wiens aldoor snuffelende brein
Een gansche werelt valt te klein

Yang artinya sebagai berikut:

Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya.
Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:

Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:

1. Punna taenamo naero nipakainga Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Parasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Parasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.

Yang artinya sebagai berikut :

1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.

Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan Tumenanga ri Bonto Biraeng.

Dari sudut pandang terminologi, belum ada kesempatan (konsensus) arti kata Gowa yang menjelaskan secara utuh asal-usul kata serapan Gowa. Arti yang ada hanyalah asumsi dan perkiraan antara lain: pertama, kata Gowa berasal dari goari, yang berarti kamar atau bilik/perhimpun; kedua, berasal dari kata gua, yang berarti liang yang berkait dengan tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja Gowa I) di gua/perbukitan Taka Bassia, Tamalate (dalam bahasa Makassar artinya tidak layu) yang kemudian secara politik kata Gowa dipakai untuk mengintegrasikan kesembilan kasuwiang (Bate Salapang) yang bersifat federasi di bawah paccallaya, yang kemudian menjadi kekuasaan tunggal Tomanurung, sehingga leburlah Bate Salapang menjadi Kerajaan Gowa yang diperkirakan berdiri pada abad XIII (1320).

Sampai masa kekuasaan Raja Gowa VIII I Pakere Tau Tunnijallo ri Passukki, pemerintahan kerajaan dipusatkan di Taka Bassia (Tamalate) sebagai istana Raja Gowa I. Kemudian istana raja ini dipindahkan ke Somba Opu oleh Raja Gowa IX Daeng Mantare Karaeng Mengunungi yang bergelar Tumaparisi Kallonna karena dianggap lebih menguntungkan dan strategis sebagai kerajaan yang maju di bidang ekonomi dan politik. Pada masa inilah Kerajaan Gowa mulai memperluas kekuasaannya dan menaklukkan berbagai daerah sekitarnya termasuk menjalin hubungan kerjasama dan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan lain. Hal ini berlangsung sampai Raja Gowa XII, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590). Ambisi itulah yang menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan besar. Bandar yang dimilikinya menjadi bandar persinggahan niaga dunia yang sangat maju karena telah memiliki berbagai fasilitas sebagaimana layaknya negara-negara besar lain di abad XVI dan XVII. Pada waktu itu pemerintah menjalankan sistem politik terbuka berdasarkan teori Mare Leberum (laut bebas) yang memberi jamina usaha para pedagang asing. Akan tetapi, ambisi itu pula yang menciptakan persaingan yang bersifat terselubung (laten) ketika ingin memegang hegomoni dan zuserenitas di Sulewasi, terutama persaingannya dengan Kerajaan Bone. Ketika persaingan itu memuncak, Belanda memanfaatkan situasi tersebut dengan melancarkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai) serta menerapkan sistem monopoli yang sangat bertentangan dengan prinsip mare liberum hingga meletusnya perang Makassar (1666-1669).

Di sisi lain, agama Islam salah satu alasan perlawanan Bone ketika Gowa berusaha mengintroduksi agama Islam. Usaha itu diprakarsai oleh Raja Gowa XV I Mangerangi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (1593-1639) yang menjadi muslim pada tanggal 9 Jumadil 1051 H atau 20 September 1605. Beliau berusaha mewujudkan penyatuan Sulawesi tetapi tidak terealisir sampai masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang berakhir dengan Pernjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 setelah Perang Makassar.

Masa Kerajaan :

Pada tahun 1320 Kerajaan Gowa terwujud atas persetujuan kelompok kaum yang disebut Kasuwiyang-Kasuwiyang dan merupakan kerajaan kecil yang terdiri dari 9 Kasuwiyang yaitu Kasuwiyang Tombolo, Lakiyung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling, dan Sero.

Pada masa sebagai kerajaan, banyak peristiwa penting yang dapat dibanggakan dan mengandung citra nasional antara lain Masa Pemerintahan I Daeng Matanre Karaeng Imannuntungi Karaeng Tumapa’risi Kallonna berhasil memperluas Kerajaan Gowa melalui perang dengan menaklukkan Garassi, Kalling, Parigi, Siang (Pangkaje’ne), Sidenreng, Lempangang, Mandalle dan lain-lain kerajaan kecil, sehingga Kerajaan Gowa meliputi hampir seluruh dataran Sulawesi Selatan.

Di masa kepemimpinan Karaeng Tumapa’risi Kallonna tersebutlah nama Daeng Pamatte selaku Tumailalang yang merangkap sebagai Syahbandar, telah berhasil menciptakan aksara Makassar yang terdiri dari 18 huruf yang disebut Lontara Turiolo.

Pada tahun 1051 H atau tahun 1605 M, Dato Ribandang menyebarkan Agama Islam di Kerajaan Gowa dan tepatnya pada tanggal 9 Jumadil Awal tahun 1051 H atau 20 September 1605 M, Raja I Mangerangi Daeng Manrabia menyatakan masuk agama Islam dan mendapat gelar Sultan Alauddin. Ini kemudian diikuti oleh Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka dengan gelar Sultan Awwalul Islam dan beliaulah yang mempermaklumkan shalat Jum’at untuk pertama kalinya.

Raja I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Muhammad Bakir Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke XVI dengan gelar Ayam Jantan dari Timur, memproklamirkan Kerajaan Gowa sebagai kerajaan maritim yang memiliki armada perang yang tangguh dan kerajaan terkuat di Kawasan Indonesia Timur.

Pada tahun 1653 – 1670, kebebasan berdagang di laut lepas tetap menjadi garis kebijaksanaan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin. Hal ini mendapat tantangan dari VOC yang menimbulkan konflik dan perseteruan yang mencapai puncaknya saat Sultan Hasanuddin menyerang posisi Belanda di Buton.

Akibat peperangan yang terus menerus antara Kerajaan Gowa dengan VOC mengakibatkan jatuhnya kerugian dari kedua belah pihak, oleh Sultan Hasanuddin melalui pertimbangan kearifan dan kemanusiaan guna menghindari banyaknya kerugian dan pengorbanan rakyat, maka dengan hati yang berat menerima permintaan damai VOC.

Pada tanggal 18 November 1667 dibuat perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya). Perjanjian tidak berjalan langgeng karena pada tanggal 9 Maret 1668, pihak Kerajaan Gowa merasa dirugikan. Raja Gowa kembali dengan heroiknya mengangkat senjata melawan Belanda yang berakhir dengan jatuhnya Benteng Somba Opu secara terhormat. Peristiwa ini mengakar erat dalam kenangan setiap patriot Indonesia yang berjuang gigih membela tanah airnya.

Sultan Hasanuddin bersumpah tidak sudi bekerja sama dengan Belanda dan pada tanggal 1 Juni 1669 meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke XVI setelah hampir 16 tahun melawan penjajah. Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 Sultan Hasanuddin mangkat dalam usia 36 tahun. Berkat perjuangan dan jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara, maka dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973 tanggal 16 Nopember 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.

Dalam sejarah berdirinya Kerajaan Gowa, mulai dari Raja Tumanurung Bainea sampai dengan setelah era Raja Sultan Hasanuddin telah mengalami 36 kali pergantian Somba (raja).

Nama Raja - Raja Gowa :

1. Tumanurunga (1320 - 1345).
2. Tumassalangga Baraya (1345 - 1370).
3. Puang Loe Lembang (1370 - 1395).
4. I Tuniatabanri (1395 - 1420).
5. Karampang ri Gowa (1420 - 1445).
6. Tunatangka Lopi (1445 - 1460).
7. Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna (1460).
8. Pakere Tau Tunijallo ri Passukki (1460 - 1510).
9. Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (1510 - 1546).
10. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565).
11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte (1565 - Menjabat Hanya 40 Hari).
12. I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1590-1593).
14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna (1593-1639).
Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna (1639-1653).
Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653.
16. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana (1653-1669).
Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670.
17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu' (1669-1674).
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna.
18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara (1674-1677).
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681.
19. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709).
20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711).
21. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi (1712-1724).
22. I Manrabbia Sultan Najamuddin (1724-1729).
23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi (1729-1735). (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735).
24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742).
25. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753).
26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1753-1767).
27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769).
28. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1769-1778).
29. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810).
30. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825).
31. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826).
32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826-1893).
33. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- 1895).
34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na (1895-1906).
Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.
35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1906-1946).
36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) Merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.

Kamis, 30 April 2009

Sejarah Sulawesi Selatan

Sejarah

Sekitar 30.000 tahun silam pulau ini telah dihuni oleh manusia. Penemuan tertua ditemukan di gua-gua dekat bukit kapur dekat Maros, sekitar 30 km sebelah timur laut dan Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Kemungkinan lapisan budaya yang tua berupa alat batu Peeble dan flake telah dikumpulkan dari teras sungai di lembah Walanae, diantara Soppeng dan Sengkang, termasuk tulang-tulang babi raksasa dan gajah-gajah yang telah punah.

Selama masa keemasan perdagangan rempah-rempah, diabad ke-15 sampai ke-19, Sulawesi Selatan berperan sebagai pintu Gerbang ke kepulauan Maluku, tanah penghasil rempah. Kerajaan Gowa dan Bone yang perkasa memainkan peranan penting didalam sejarah Kawasan Timur Indonesia dimasa Ialu.

Pada sekitar abad ke-14 di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah kerajaan kecil, dua kerajaan yang menonjol ketika itu adalah Kerajaan Gowa yang berada di sekitar Makassar dan Kerajaan Bugis yang berada di Bone. Pada tahun 1530, Kerajaan Gowa mulai mengembangkan diri, dan pada pertengahan abad ke-16 Gowa menjadi pusat perdagangan terpenting di wilayah timur Indonesia. Pada tahun 1605, Raja Gowa memeluk Agama Islam serta menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Islam, dan antara tahun 1608 dan 1611, Kerajaan Gowa menyerang dan menaklukkan Kerajaan Bone sehingga Islam dapat tersebar ke seluruh wilayah Makassar dan Bugis.

Perusahaan dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang datang ke wilayah ini pada abad ke-15 melihat Kerajaan Gowa sebagai hambatan terhadap keinginan VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di daerah ini. VOC kemudian bersekutu dengan seorang pangeran Bugis bernama Arung Palakka yang hidup dalam pengasingan setelah jatuhnya Bugis di bawah kekuasaan Gowa.
Belanda kemudian mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus menghidupkan perlawanan masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan Gowa. Setelah berperang selama setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Dan Raja Gowa, Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya yang sangat mengurangi kekuasaan Gowa. Selanjutnya Bone di bawah Palakka menjadi penguasa di Sulawesi Selatan.

Persaingan antara Kerajaan Bone dengan pemimpin Bugis lainnya mewarnai sejarah Sulawesi Selatan. Ratu Bone sempat muncul memimpin perlawanan menentang Belanda yang saat itu sibuk menghadapi Perang Napoleon di daratan Eropa. Namun setelah usainya Perang Napoleon, Belanda kembali ke Sulawesi Selatan dan membasmi pemberontakan Ratu Bone. Namun perlawanan masyarakat Makassar dan Bugis terus berlanjut menentang kekuasaan kolonial hingga tahun 1905-1906. Pada tahun 1905, Belanda juga berhasil menaklukkan Tana Toraja, perlawanan di daerah ini terus berlanjut hingga awal tahun 1930-an.

Sebelum Proklamasi RI, Sulawesi Selatan, terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami empat etnis yaitu ; Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.

Ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas yaitu Luwu, Gowa dan Bone, yang pada abad ke XVI dan XVII mencapai kejayaannya dan telah melakukan hubungan dagang serta persahabatan dengan bangsa Eropa, India, Cina, Melayu dan Arab.
Setelah kemerdekaan, dikeluarkan UU Nomor 21 Tahun 1950 dimana Sulawesi Selatan menjadi propinsi Administratif Sulawesi dan selanjutnya pada tahun 1960 menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Pemisahan Sulawesi Selatan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara ditetapkan dengan UU Nomor 13 Tahun 1964, sehingga menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan.


Periode Gubernur :

I. Gubernur Sulawesi
1945 – 1949 DR. G. S.S.J. Ratulangi
1950 – 1951 B. W. Lapian
1951 – 1953 R. Sudiro
1953 – A. Burhanuddin
1953 - 1956 Lanto Dg. Pasewang
1956 – 1959 A. Pangerang Pettarani

II. Gubernur Sulawesi Selatan dan Tenggara :
1959 – 1960 A. Pangerang Pettarani
1960 – 1966 A. A. Rivai.

III. Gubernur Sulawesi Selatan
1966 – 1978 Ahmad Lamo (Dua periode)
1978 – 1983 Andi Oddang
1983 – 1993 A. Amiruddin (Dua periode)
1993 - 2003 H. Z. B. Palaguna (Dua periode)
2003 - 2008 H. M. Amin Syam

2088 - Ahmad Tanribali Lamo Pejabat Gubernur Sementara

2008 - Syahrul Yasin Limpo sekarang

Menurut catatan sejarah Budaya Sulsel, ada tiga kerajaan besar yang pernah berpengaruh luas yakni Kerajaan Luwu, Gowa, dan Bone, disamping sejumlah kerajaan kecil yang beraliansi dengan kerajaan besar, namun tetap bertahan secara otonom. Berbeda dengan pembentukan Propinsi lain di indonesia, Sulsel terbentuk menjadi satu kesatuan wilayah administratif tingkat propinsi, atas kemauan dan ikrar raja-raja serta masyarakat setempat sekaligus bergabung dalam negara kesatuan Republik Iindonesia, sehingga Sulsel menjadi salah satu propinsi di Indonesia yang diatur dalam UU Nomor 21 tahun 1950 dan Makassar sebagai pusat pemerintahan.

Dengan undang-undang ini maka Wilayah Administratif Sulsel terbagi menjadi 21 daerah swantantra tingkat II dan 2 (dua) kotapraja yakni Makassar dan Parepare. Status Propinsi Administratif Sulawesi berakhir pada tahun 1960 yang ditetapkan dengan UU Nomor 47 Tahun 1960 dan secara otonom membagi Sulawesi menjadi Propinsi Sulawesi Selatan Tenggara beribukota Makassar dan Propinsi Sulawesi Utara-Tengah beribukota Manado, Empat tahun kemudian pemisahan wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara ditetapkan dalam II Nomor 13 Tahun 1964 dan Sulawesi Selatan resmi menjadi daerah otonom dan terus disempurnakan dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang menggabungkan wilayah administratif daerah-daerah otonom dalam satu penyebutan yaitu Daerah Tingkat II atau Kotamdya dan Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Selanjutnya Propinsi daerah Tingkat I Sulawesi Selatan terbagi dalam 23 Kabupaten/Kotamadya serta 2 (dua) Kota Administratif yakni Palopo di Kabupaten Luwu dan Watampone di kabupaten Bone. Sedangkan yang sangat berarti adalah perubahan nama ibukota Propinsi sulawesi Selatan dari makassar ke Ujung Pandang yang ditetapkan dalam PP Nomor 51 tahun 1971 Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 65 tahun 1971.

Sejarah Sulawesi Selatan